Pages

Senin, 31 Oktober 2011

SID, Bersulang Melawan Keseragaman


Superman Is Dead (SID) menginspirasi dan mengajarkan kami tentang indahnya perbedaan dan untuk menghormati keberagaman!” Kurang lebih itulah pendapat salah seorang penonton yang hadir dalam gig di salah satu pusat hiburan di bilangan Jakarta Pusat pertengahan Maret lalu. Pernyataan secara terbuka yang diucapkan dalam sebuah panggung “glam” peluncuran album baru SID yang bertajuk Angels & the OutSIDers.
Damn! Saya tersentak dengan pernyataan tersebut. Pernyataan yang sudah sangat lama saya nanti-nantikan tiba-tiba terdengar langsung oleh telinga saya. Mungkin banyak orang yang akan bertanya-tanya, apa istimewanya komentar tersebut? Sehingga harus membuat tersentak? Bukankah pendapat-pendapat seperti itu sudah biasa diucapkan? Lalu apa yang menjadi luar biasa?
Pertanyaan dan pernyataan seperti itu seolah-oleh beruntun menerjang kepala saya, seraya berusaha menjelaskannya. Pendapat seperti itu, tidak akan menjadi luar biasa apabila disampaikan untuk para pegiat kemanusiaan atau untuk kelompok-kelompok yang memang aktivitas mereka ada di wilayah perjuangan pluralisme. Namun tidak demikian apabila ucapan itu didedikasikan untuk SID.
Dengan latar belakang “glamour”, tampilan ala punker, musik cadas, dan segala atribut “gaul” yang disandang oleh grup band ini, seolah-olah mereka adalah tiga “berandal” yang hanya bermusik dan larut dalam kehidupan glamour. Rambut spiky, rantai bergelantungan di pinggang, berbusana gaul nan glamour tidaklah cukup menggambarkan ketepatan dari penyataan di awal tulisan ini. Betapa ketiga pemuda ini jauh dari kategori kelompok yang peduli dengan keadaan sekitar.
Ditambah lagi tangan yang tiada henti memegang botol minuman beralkohol, semakin menjauhkan cap pemuda yang mempunyai kepedulian terhadap kehidupan sosial. Belum lagi bila kita menengok ke belakang atas perjalanan grup band ini yang sempat dipenuhi dengan tuduhan rasis dan diskriminatif, menyebabkan SID sempat terpuruk dalam tuduhan-tuduhan rasis. Tentu saja keadaan ini kerap membuat roh lagu mereka menjadi hilang dan terkubur dalam “judge” glamour, rasis, dan anti sosial. Aktivitas-aktivitas mereka untuk kampanye kemanusiaan, kesetaraan, pluralisme menjadi sirna begitu saja.
Sepanjang pengetahuan saya, SID baik sebagai sebuah grup band maupun individu-individunya adalah salah satu grup band yang cukup aktif dalam melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, tentunya yang paling sering adalah melakukan kampanye pluralisme, kemanusiaan dan juga lingkungan. Tidak sebatas hanya datang dan bermain musik, bahkan terlibat langsung dalam pengadaan kampanye termasuk memobilisasi resource untuk menggelar kampanye musik.
Komitmen mereka atas kemanusiaan, pluralisme, lingkungan tergambar pula secara kuat dalam lagu-lagu mereka. Dapat dicatat bahwa hampir dalam setiap album yang dirilis oleh SID terdapat tema-tema lagu yang mengedepankan persaudaraan, kesetaraan, pluralisme. Kita vs Mereka, Marah Bumi, Citra O.D bahkan dalam album terbarunya terdapat pesan untuk menjaga semangat keberagaman yang tercermin dalam lagu “Kuat Kita Bersinar”.

Dalam setiap mereka penampilannya, tak henti-hentinya mengingatkan penonton yang ada di depan mereka untuk menghargai setiap perbedaan. Kadangkala oleh Bobby dengan mimik serius bak orator, atau kadang dengan guyonan “jorok” ala Eka Rock yang mengundang tawa tapi sarat dengan pesan indahnya keberagaman.
“Akh, itu hal yang biasa kali, namanya juga cari popularitas,” begitu kira-kira pendapat yang muncul bila kita menelaah SID dan sisi humanismenya. Namun pendapat itu menjadi keliru bila menyimak perjalanan kreativitas para personel SID di kala mereka belum terkenal seperti sekarang. Cukup susah mengatakan bahwa tema lagu mereka tentang kemanusiaan, kesetaraan dan pluralisme, adalah sebatas lagu panggung. Sebatas untaian kata yang hanya diteriakan di panggung-panggung lalu hilang dan lepas tak bermakna di dalam kehidupan mereka di luar panggung. Atau sangat berat rasanya mengatakan, bahwa pesan-pesan mereka adalah pesan semu yang hanya untuk gagah-gagahan di atas panggung.
Lekat dalam ingatan saya bagaimana SID termasuk salah satu band menyisihkan energinya untuk kegiatan-kegiatan jalanan terutama pada tahun 1998 di mana euforia reformasi sedang masak-masaknya. Aksi massa di kampus-kampus sedang marak, diskusi informal merebak tiap saat dan di situlah beberapakali terlibat pula pemuda-pemuda ini.
Mereka bergabung dalam setiap aktivitas, mengeluarkan “merchandise” dalam bentuk stiker-stiker. Bukan stiker gaul atau stiker yang beraroma dunia glam tapi “merchandice” yang berbau kampanye gerakan. Tercatat dalam ingatan saya, berbagai stiker sarkas dengan tulisan; “Sohardto F**k”, atau maaf” Tutut Titit” yang sesuai kehendak zaman pada saat itu. Mungkin seseuatu hal yang kecil, tetapi sarat akan makna kepedulian mereka dengan kondisi sosial.
Di tengah lagu-lagu mereka yang sekilas terkesan mengumbar tema glam, SID adalah salah satu band di Bali yang selalu siap tampil dalam acara-acara charity untuk kemanusiaan. Mungkin puluhan kali bahkan lebih, grup band ini terlibat secara aktif dalam pagelaran sosial tanpa bayaran. Tercatat SID tampil dalam penggalangan dana untuk kemanusiaan pada saat bencana tsunami Aceh dan bencana gempa Jogjakarta. Bukan hanya sebatas tampil memikan musiknya, tapi juga peran Jerinx (drummer SID) sebagai pengagas ide terutama dalam Pagelaran Kemanusiaan untuk bencana gempa Jogjakarta.
Demikian pula dalam hal perjuangan atas pluralisme dan keberagaman, SID adalah Band yang terlibat pula secara aktif dalam kampanye penolakan RUU APP dari sejak dikumandangkan tahun 2006 sampai 2008. Tidak melulu aksi panggung tapi pemuda-pemuda ini juga terlibat dalam aksi-aksi jalanan. Menggarap roadshow musik untuk mengampanyekan, betapa berbahanya RUU APP dalam ranah Bhinekka Tunggal Ika. Betapa RUU APP mengancam sendi-sendi keberagaman dan berujung terancamnya nilai-nilai dan hakikat kemanusiaan.
Tema lagu kemanusiaan termanifestasikan dalam bentuk praktik-praktik SID. Nilai universal kemanusiaan, menjadi lakon yang tidak bisa dinafikan begitu saja dari SID. Kita masih ingat bagaimana agresi USA terhadap negara Irak? Di tengah kondisi sentimentil yang berkembang atas dunia Islam, SID justru tampil dan keluar dari sentimentil itu. Solidaritas kemanusiaan adalah universal dan menembus batas tanpa memandang warna kulit, jenis kelamin, agama, suku, bangsa. Ini terwujudkan dalam pagelaran musik bertajuk “Stop War”, sebuah pagelaran musik untuk menentang agresi USA ke negara-negara Timur Tengah.
Apakah sebatas datang dan tampil dan menyanyi? Oh, tidak! SID hadir dari menggagas ide, menyiapkan rencana kegiatan, mendesain propaganda dan mengumpulkan band-band untuk tampil bahkan sampai teknis acara. Itulah sekian banyak aktivitas dan praktek-praktek SID yang menunjukan keselarasan antara tema lagu dengan praktik kehidupan nyata mereka.
Di tangan mereka, dunia “glam” menjadi tidak sebatas hura-hura dan dentingan sulang gelas dan botol alkohol . Dunia “glam saat ini menjadi dunia yang sarat dengan upaya penyadaran akan nilai-nilai kemanusiaan, keberagaman, keseteraan dan perdamaian. Pesan-pesan yang secara termaktub dalam lagu-lagu mereka, terpropagandakan dalam “orasi-orasi panggung” dan mampu membangunkan kesadaran orang-orang akan arti penting dari nilai-nilai itu. Minimal di tingkatan penggemar mereka  outSIDers. Mampu meretas perbedaan sempit yang selama ini dikonstruksi oleh negara atas sekat-sekat suku, agama, ras, jenis kelamin, kebangsaan dll.
Lalu seberapa pentingkah ucapan penonton yang saya sampaikan di awal tulisan ini? Buat saya pernyataan itu sangat istimewa. Inilah pertamakalinya saya mendengar “pengakuan” atas aktivitas-aktivitas SID yang sesungguhnya tidak pernah lepas dari dinamika sosial. Setidaknya ada satu orang yang tersadarkan atas kampanye dan propaganda lagu SID selama ini. Bahkan bisa saja mewakili puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang lainnya. Sehingga judge fatalis (rasis, anti sosial) terkubur seiiring waktu.
Di tengah krisisnya bangsa ini akan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dengan bergelimang manusia-manusia berperilaku primitif dan berpikiran sempit nan membosankan, SID tampil sebagai oase yang memberikan secercah harapan. Semestinya orang-orang yang selalu bertampilan necis, berjas rapi, mengaku orang terhormat merasa malu karena justru pesan-pesan kemanusiaan, anti diskriminasi, kesetaraan keluar dari mulut “berandal-berandal” ini.
Semoga tetep konsisten, mari ciptakan dunia baru tanpa diskriminasi.
……Dan kau sahabatku, mari kita bersulang!

0 komentar:

Posting Komentar